Assalamualaikum ^^
Salam Sejahterah semuanya ^^ Selamat datang di blog saya, ini adalah postingan pertama saya sempat bingung si sebenarnya mau memposting apa , ^^jangan terlalu formal jika berkunjung diblog saya yaaa :) anggap saja ini forum bersilaturahmi kita tak perlu sungkan untuk saling bertanya ataupun bertukar fikiran dan pendapat . saya harap blog ini dapat mengundang canda tawa kita semua -SO, NO BASH- jika masi banyak tulisan tulisan yaaaa yang bisa dibilang terlalu kacau hihihhi :) karna tujuan membuat blog ini selain saling bertukar ilmu kita juga bisa berteman :) biar makin akrab ni yaaa saya perkenalkan terlebi dahulu mahluk cantik hamba allah pemilik resmi blog ini :)
**pemilik blog ini namanya shelly yoni vioni jadi Panggil saja saya Shelly ya hhihiih :) sekarang ini saya masi kuliah Semester Enam di Universtas Muhammadiyah Bengkulu Dan saya mengambil jurusan FKIP Matematika (Calon Buk Guru ^^ Aminnnnn ) ***
Nahh Loh Pasti muncul pertanyaan kenapa saya memposting terkait hal perkawinan hhihihi wajar dong ya hehehe karena kita manusia nantinya akan memperoleh keturuanan yang pastinya akan terlebih dahulu menempuh yang namanya proses pernikahan.
Nah berbicara mengenai pernikahan pastinya tidaklah mudah seperti yang sebelumnya kita fikirkan pasti banyak hal yang harus dipertimbangkan terutama mengenai kepercayaan kita terhadap pencipta kita(agama) nah sudah tak asing lagi kan jika didunia ini kita bertemu dengan kisah dua sejoli yang saling mencintai tetapi ada hal besar yang menjadi permasahan apa itu ^^ (***prikitiwwww) . ada nya perbedaan agama antara hubungan dalam suatu perkawinan , lalu secara islami bagai mana itu ? apa hukum nya jika kita seorang muslim menikahi yang non muslim ? Untuk itu saya memberikan sedikit info terkait masalah besar didalam pernikahan . langsung saja yaa............:)
Dalam
Undang-undang perkawinan yang terdapat dalam kompilasi hukum Islam yang menjadi
salah satu prinsip dari suatu perkawinan ialah keabsahan, yang artinya bahwa
perkawinan tersebut dianggap sah secara hukum (negara) apabila dilaksanakan
sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Pengertian kata
“masing-masing” dalam hal ini menurut Sudirman tertuju kepada agama-agama yang
dipeluk di Indonesia, bukannya mengacu pada masing-masing pengantin. Dari
perspektif hukum Indonesia ini sudah barang tentu bahwa pernikahan beda agama
itu dilarang dalam kerangka hukum Islam Indonesia.
Namun
akhir-akhir ini, timbul banyak pendapat baru yang secara legal membolehkan
pernikahan beda agama dengan argumen larangan kawin beda agama dalam berbagai
kitab tafsir dan fiqh dihasilkan oleh ideologi politik yang memandang manusia
dalam batas-batas agama dimana terlihat jelas bahwa pelarangan ini untuk
menjaga stabilitas, keutuhan dan terpeliharanya dar al-Islam (teritori
Islam). Dan salah satu yang membuat terobosan lain dalam hal pembolehan
pernikahan beda agama ialah yang dilakukan oleh Pusat Studi Islam Paramadina,
lembaga yang didirikan Nurcholis Madjid 30 Oktober 1986 silam ini dalam Klub
Kajian Agama (KKA) ke-200, yang digelar pada 17 Oktober 2003 lalu berani
mengeluarkan penafsiran baru atas pernikahan beda agama.
Oleh karena melihat
fakta yang seperti ini, kita dapat berpendapat bahwa sudah lama perkawinan
antar agama menjadi perdebatan. Dan meskipun pengakuan legal formal pembolehan
hal ini belum tersurat, prakteknya warga yang melakukan perkawinan beda agama
terus bertambah, lantas bagaimana sebenarnya pandangan hukum dari perspektif
fiqh (baca: hukum Islam). Dalam makalah ini akan dijelaskan global permasalahan
dengan tidak bermaksud untuk menjustifikasi mana yang benar maupun mana yang
salah.
PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama (Perspektif
Fiqh)
Dalam hukum Islam, baik dari kandungan al-Qur’an
maupun hadits banyak menyebutkan masalah ini, dan secara tekstual terdapat tiga
ayat mengenai perkawinan muslim dengan non-muslim. Pertama,
seperti dalam dan laki-laki musyrik sebelum mereka itu beriman. Allah berfirman
:
وَلَا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ
مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ
ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
dia menarik hatimu”. (QS. al-Baqarah: 221)
Asbab
al-nuzul dari surat ini ialah ketika salah seorang sahabat yang bernama Ibnu
Mursyid al-Ghanawi akan mengawini seorang wanita musyrik dengan memohon izin
terlebih dahulu kepada Rasulullah sampai dua kali, setelah kedua kali
Rasulullah berdoa dan turunlah ayat ini.
Dari ayat ini, secara zahir jelas-jelas melarang
wanita maupun laki-laki muslim untuk menikah dengan calon pasangannya yang
musyrik. Musyrik yang dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan seseorang yang
melakukan perbuatan syirik
(menyekutukan Allah) salah satu dosa paling besar,
mereka semua itu haramuntuk dinikahi oleh semua umat Islam (laki-laki maupun
perempuan). Kedua, dalam surat al-Mumtahanah: 10 yang berisi larangan
perkawinan wanita muslim dengan laki-laki kafir. Teks ayat tersebut :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ
ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ
إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَآتُوهُمْ
مَا أَنْفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ
وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ
ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang
kafir itu tiada halal pula bagi mereka”.
Walaupun
teks ayat tersebut menyebutkan wanita beriman sebelumnya telah berkumpul dengan
suaminya yang kafir dan tetapi kemudian berpaling darinya, lalu hijrah ke dalam
kaum muslim. Tetapi secara tersirat jelas juga bahwa wanita-wanita yang beriman
(kuat imannya) itu haram untuk dinikahi oleh laki-laki kafir musyrik, yang
menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya “orang kafir” yang dimaksud dalam ayat ini
ialah kafir Makkah. Dan kalimat sepenggal dari potongan ayat di atas menguatkan
lagi wanita beriman yang keimanannya telah kuat haram dinikahi oleh laki-laki
kafir.
Ketiga, terdapat
dalam surat al-Maidah : 5, yang kandungan ayatnya berisi ketentuan tentang
diperbolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab, ayat tersebut berbunyi:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ
لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِين َ
تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ
اللّهُ فَكُلُواْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَيْهِ
وَاتَّقُواْ اللّه َ
إِنَّ اللّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
3
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu”
Dari ayat
ini memang jelas bahwa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab.
Dan setelah turunnya ayat ini, banyak sebagian sahabat yang menikahi
wanita-wanita ahli kitab, seperti Usman bin Affan kawin dengan Nailah binti
Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah dengan perempuan
Yahudi di Damaskus, Huzaifah kawin dengan perempuan Yahudi di Madyan, bahkan
Rasulullah saw pun pernah menikahi perempuan ahli kitab yaitu Nabi Maria
Qibtiyah, perempuan Kristen Mesir dan Sophia yang Yahudi.
Namun masalah pernikahan ahli kitab ini terdapat
masalah pokok, ialah yang pertama siapakah yang dimaksud ahli kitab kalau
dikaitkan dengan konteks sekarang? Sebelumnya terlebih dahulu kita lihat
definisi ulama mengenai ahli kitab ini. Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama
fiqh, seperti dikutip Zainun (dosen UIN Syarif Hidayatullah), berpendapat bahwa
siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau salah satu kitab suci yang
pernah diturunkan oleh Allah, maka ia termasuk ahlul kitab. Rasyid Ridha bahkan
menegaskan bahwa Majusi, Sabian, Hindu (Brahmanisme), Budha, Konghucu, Shinto
dan agama-agama lain dapat dikategorikan sebagai ahli kitab. Namun kiranya
pendapat dari Haji Abdullah ini kami rasa lebih mewakili, beliau berpendapat,
apa yang dimaksud dengan ahli kitab ini ialah seorang yang dapat membuktikan
bahwa agamanya mempunyai kitab yang diturunkan pada seorang Rasul dari keluarga
Ibrahim dan agama itu ialah Islam, Yahudi, Nasrani serta suhuf-suhuf
kepada Nabi/Rasul tertentu. Maka yang dimaksud ahli kitab ialah mereka yang
menganut keyakinan: 1) Iman dan percaya kepada Allah SWT, 2) Iman dan percaya
kepada salah satu kitab sebelum al-Qur’an diturunkan (sebelum Muhammad saw), 3)
Iman dan percaya kepada rasul-rasul Allah SWT.
Jadi kita dapat sedikit menarik kesimpulan bahwa ahli
kitab itu orang-orang yang menerima dan mempercayai kitab yang diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad saw (al-Qur’an) itu ada. Sehingga ini
sesuai dengan konsep pernikahan yang dilakukan sahabat yang pernah nikah dengan
wanita ahli kitab, karena memang di zaman itu ahli kitab itu masih benar-benar
ahli kitab yang hidup sebelum (dekat) al-Qur’an diturunkan. Sedangkan
orang-orang (Yahudi, Nasrani) sekarang tidaklah dapat disebut sebagai ahli
kitab. Mahmud Yunus mengatakan bahwa sekarang ini tidak ada lagi ahli kitab
(kalaupun ada, itupun dalam jumlah yang sangat sedikit sekali). Terlebih
sekarang kitab mereka perjanjian lama dan perjanjian baru sudah banyak
terkontaminasi atau dalam bahasa lainnya sudah banyak campur tangan manusia.
Terakhir dapat kita katakan perkawinan beda agama
dalam kajian hukum Islam dilarang dengan ketentuan yaitu pelarangan secara
tegas untuk wanita dan laki-laki muslim yang haram untuk menikahi orang kafir.
Kedua, mengungkapkan pelarangan wanita muslim untuk dinikahkan dengan laki-laki
non-muslim, ketiga ialah dibolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita yang
benar-benar ahli kitab.
B. Perkawinan
Beda Agama (Perspektif UU Perkawinan dan KHI)
Dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) diakui adanya
perbedaan hukum perkawinan dari agama-agama yang berbeda. Akibatnya di
Indonesia ada pluralitas hukum perkawinan yang berbeda satu dengan lainnya dan
telah mendudukkan hukum berbagai agama di bidang perkawinan. Dalam hal ini UU
Perkawinan menggunakan istilah “Perkawinan Campuran” yang telah sesuai dengan
UUD 1945 pasal 29 ayat 2 (kebebasan beragama) yang mengakui adanya pluralitas
agama dan pluralitas hukum perkawinan, maka perkawinan campuran dalam negara ini
disebabkan oleh bertemunya dua atau lebih sistem hukum perkawinan yang
berlainan sesuai dengan perbedaan agama atau perbedaan
kewarganegaraan.
5
UU No. 1
tahun 1974 mengatur perkawinan campuran secara tersendiri dan menganggap
perkawinan itu sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya,
yang sesuai dengan pasal 60 ayat (1) sesuai dengan tata cara hukum agama
suaminya.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40
yang diberlakukan berdasarkan instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 disebutkan
bahwa “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seseorang pria dan wanita
karena wanita tersebut tidak beragama Islam”. Larangan perkawinan antara
agama sebagaimana hal ini didasarkan kepada mashlahah dengan tujuan
untuk memelihara agama, jiwa, harta, kehormatan, serta keturunan. Para ulama
Indonesia sepakat untuk melarang perkawinan beda agama karena kemudharatannya
lebih besar daripada manfaat yang ditimbulkannya.
Perkawinan beda agama telah menyebabkan anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan itu banyak yang menganut hukum agama ibunya daripada
agama bapaknya. Selain dari itu, dari perkawinan antar agama dapat meresahkan
karena hubungan silaturrahim antar keluarga menjadi putus. Oleh karena
kemudharatannya lebih besar yang ditimbulkan dari perkawinan antar-agama cukup
besar daripada manfaatnya, maka sudah selayaknya ketentuan tersebut dalam pasal
40 KHI Indonesia tetap dipertahankan.
Dilarang melakukan perkawinan antara seorang pria atau
wanita Islam dengan wanita atau laki-laki tidak beragama Islam ijma
ulama Indonesia tentang masalah ini harus tetap dipertahankan dan harus
ditingkatkan dalam peraturan perundang-undangan dimasa yang akan datang.
ANALISIS
Konsep nikah
beda agama di dalam negara Indonesia tidak diperbolehkan (karena perspektif bahwa
beda agama yang dimaksudkan adalah nikah antara orang Islam dengan orang
Nasrani).
Dilihat dari
mafsadat-maslahat-nya, seorang laki-laki muslim yang menikah
dengan perempuan yang bukan dari kalangan muslim akan mengalami kesulitan dalam
melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab, yaitu mendidik anak-anaknya secara
Islam, karena kesempatan bergaul anak-anak lebih banyak dengan ibunya.
Kesulitan itu akan diperparah lagi apabila istrinya (ibu anak-anak) masih
fanatik terhadap agamanya.Sedangkan dilihat dari segi sosial, perkawinan beda
agama seringkali dijadikan media oleh orang-orang bukan muslim untuk melakukan
pemurtadan.
KESIMPULAN
Dari
pemaparan singkat ini, sedikitnya kita dapat mengetahui bahwa perkawinan beda
agama terutama dari pandangan hukum Islam (fiqih) adalah
dilarang walaupun dengan berbagai penafsiran-penafsiran yang lebih liberal ada
yang membolehkan perkawinan beda agama, baik itu laki-laki muslim kepada wanita
musyrik ataupun sebaliknya. Dalam perspektif hukum Islam sedikitnya ada tiga
ketentuan pernikahan beda agama itu, pertama pelarangan kepada semua kaum
muslimin baik laki-laki atau perempuan untuk tidak menikahi calon pasangannya
sebelum mereka sama-sama beriman. Kedua, berisi
larangan menikahkan wanita-wanita muslim kepada laki-laki yang tidak seiman
atau kafir, terakhir ialah membolehkan menikahi perempuan ahli kitab.
Sedangkan UU
Perkawinan yang karena mengandung pluralitas hukum sesuai dengan undang-undang
dasar membolehkan perkawinan beda agama yang dalam UU Perkawinan disebut
“perkawinan campuran” dengan ketentuan pernikahan dilakukan sesuai dengan
adat/tata kebiasaan hukum agama suaminya. Selanjutnya secara tegas KHI pasal 40
dengan tegas menolak pernikahan beda agama dalam segala bentuknya, dengan
alasan untuk memelihara apa yang biasa disebut maqasyid al-syari’ah.
SUMBER
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran
dalam Negara Republik Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan Depag RI, 2003.
Kartohadprojo, Sudirman, Pengantar
Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka Rakyat, 1959.
Manan, Abdul, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Muhammad, Muhammad Uwaidah
Syaikh Kamil, al-jami’ fil Fiqhi an-Nisa’, Beirut, Lebanon: Daarul Kutub
al-Ilmiyah, terjemah Indonesia (Pentj. M. Abdul Ghafar, E.M), Fiqh Wanita,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.
Siddik, Mr. Haji Abdullah, Hukum
Perkawinan Islam, Jakarta: 1983.
Subadi, Kawin Lintas Agama
Perspektif Kritik Nalar Islam, Yogyakarta: LKiS.
****SEMOGA BERMANFAAT****
shelly yoni vioni